Aqiqah / Nasikah
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi
Aqiqah
secara bahasa berasal dari kata اَلْعَقُّ yang berarti memotong. Adapun secara istilah agama, aqiqah
adalah binatang yang disembelih karena lahirnya anak baik laki-laki ataupun
anak perempuan.[Asy Syarhul mumti’ 7/317 cet. Al maktabah at taufiqiyyah]
Aqiqah juga
punya sebutan lain yaitu nasikah اَلنَّسِيْكَةُ atau dzabihah ذَبِيْحَةٌ yng berarti sembelihan. Tiga sebutan ini termasuk penamaan yang
datang dari syari’at sehingga tidak pantas bila hanya memasyhurkan (memakai) salah
satu penyebutannya dan meninggalkan penyebutan yang lain [lihat tuhfatul maudud
hal : 37]
·
Hukum mengaqiqahi bayi
Berdasarkan
dalil-dalil yang kuat bahwa aqiqah itu disyariatkan. Hanya saja telah terjadi
perbedaan pendapat diantara ulama tentang wajib dan tidaknya aqiqah ini. Jumhur
(mayoritas) ulama berpendapat bahwa aqiqah ini sunnah. Diantara dalil mereka
adalah sabda Nabi :
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسِكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَنْسِكْ عَنْهُ عَنِ الْغُلَامِ
شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barangsiapa suka/ingin menasikahi/mengaqiqahi bagi anaknya
hendaklah ia menasikahinya. Untuk anak laki-laki dua kambing yang sepadan dan
untuk anak perempuan satu kambing”. [Hadits hasan riwayat Abu Daud, an Nasai
dan selain keduanya]
Segi
pendalilan dari hadits ini bahwa masalah mengaqiqahi bayi diserahkan kepada
keinginan orang tuanya sehingga hal itu tidak menunjukkan wajib.
- Demikian pula mereka berdalil
dengan hadits Nabi dimana beliau mengatakan
kepada Fatimah ketika melahirkan al Hasan : “Jangan kamu mengaqiqahinya, akan
tetapi gundullah rambut kepalanya”. [Hadits hasan riwayat Ibnu Abi Syaibah,
Ahmad 6/390-392, al Baihaqi dalam al Kubra 9/299 dan ath Thabaroni dalam al
Kabir]
- Pendapat yang kedua mengatakan
bahwa aqiqah itu wajib. Diantara mereka adalah Buraidah al Aslami, al hasan al
Bashri, al Laits bin Sa’d, Dawud azh Zhahiri dan Ibnu Hazm. Landasan untuk
pendapat ini bahwa Nabi memerintahkan untuk mengaqiqahi anak dan perintah (pada dasarnya)
menunjukkan wajib. Diantara dalil pendapat ini adalah :
1. Hadits
‘Aisyah bahwa Nabi memerintahkan
mereka untuk (mengaqiqahi) anak laki-laki dengan dua kambing yang sepadan dan
untuk anak perempuan satu kambing. [Shahih sunan at Tirmidzi no : 1513]
2. Hadits
Salman bin ‘Amr adh Dhabbi bahwa Rasulullah bersabda :
مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيْطُوْا
عَنْهُ الْأَذَى
“Bersama anak laki-laki ada aqiqahnya, maka alirkanlah darah (
sembelihan binatang) baginya dan singkirkanlah darinya kotoran (menggundul
rambut kepala bayi)”.[Shahih Sunan at Tirmidzi no: 1515 dan Shahih Ibnu Majah
3164]
-
Para ulama yang mengatakan wajib
telah menjawab argumentasi para ulama yang mengatakan sunnah ,diantaranya:
1. Hadits yang
menyebutkan :”barangsiapa ingin/suka menasikahi/ mengaqiqahi anaknya …..” Ini
bukan dalil yang memalingkan wajibnya aqiqah kepada sunnah. Karena lafal yang
seperti ini serupa dengan firman Allah :
ﭽ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﭼ التكوير: ٢٨
"(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus".[QS At Takwir : 28]
Apakah
mencari jalan yang lurus (istiqamah) sunnah?! Sudah barang tentu ia adalah
wajib seperti telah diketahui dari dalil-dalil yang lain.
2. Adapun
hadits Fathimah yang menyebutkan larangan Nabi kepada Fathimah dari mengaqiqahi
anaknya karena anaknya telah diaqiqahi oleh Nabi sebagaimana telah tersebut dalam hadits yang lain sehingga
tidak perlu diaqiqahi lagi.
Berkata Ibnu
Hazm : Perintah Nabi untuk
mengaqiqahi (bayi) adalah wajib seperti telah kami sebutkan. Tidak halal bagi
seorang untuk menafsirkan sesuatu dari perintah Nabi bahwa itu boleh untuk ditinggalkan kecuali dengan datangnya nash (dalil) yang lain tentang hal itu ….[al
Muhalla 7/526]
Argumentasi
bagi masing-masing dua pendapat di atas masih banyak dan tidak memungkinkan
untuk ditampilkan di ruang yang sempit ini secara panjang lebar.[Pembaca
dipersilakan melihat kitab tuhfatul maudud karya Ibnul Qoyyim dan ahkamul
maulud fissunnah al muthahharah karya Salim asy Syibli dan Muhammad ar Rabah]
Pendapat
yang mengatakan aqiqah itu wajib lebih kuat, sehingga bagi seorang muslim –
meskipun dia mengikuti pendapat yang mengatakan sunnah – tidak pantas
meninggalkan perintah aqiqah ini selagi ia mampu. Yang seperti ini dalam rangka
mewujudkan sikap ittiba’ (mengikut) kepada Nabi yang padanya ada kesuksesan
hidup di dunia dan akherat. Dan bila seorang tidak mampu mengaqiqahi anaknya
karena keterbatasan dana misalnya maka tidak mengapa untuk tidak mengqiqahi
anaknya. Hal ini berlandaskan firman Allah :
ﭽ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﭼ البقرة: ٢٨٦
"Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". (QS al
Baqarah :286)
·
Ketentuan binatang yang
disembelih untuk nasikah
Aqiqah
tidak sah kecuali dengan kambing baik itu kambing domba atau kambing kacangan.
Hal ini berlandaskan beberapa riwayat, diantaranya hadits :
عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Bagi anak laki-laki (aqiqah) dua kambing yang sepadan dan bagi
anak perempuan satu kambing”. [Hr. at Tirmidzi, Ahmad dan yang lain
dari ‘Aisyah]
Maksud
dari “yang sepadan” adalah sepadan dari sisi umur dan bagusnya kambing.[Faidhul
Qadir dan Nailul Authar 5/158]
Dan
telah datang dalam atsar bahwa ketika lahir anak laki-laki Abdurrahman bin Abi
Bakr ash Shiddiq maka dikatakan kepada ‘Aisyah ummul mukminin : “Aqiqahilah ia
dengan (menyembelih) unta?! Maka Aisyah
berkata : Aku berlindung kepada Allah !
Akan
tetapi (seperti) apa yang Rasulullah sabdakan (yaitu) dua kambing yang
sepadan”. [Hr. ath Thahawi dan al Baihaqi. Berkata Syaikh al Albani dalam al
irwa’ sanadnya hasan 4/390]
Berkata
al Hafidz Ibnu Hajar : menurut saya tidak sah aqiqah selain dengan kambing
[Fathul bari 9/593]
Sedangkan
atsar yang datang dari Anas bin Malik bahwa ia mengaqiqahi anaknya dengan unta,
maka atsar ini shahih, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf dan ath
Thabarani dalam al Kabir. Akan tetapi sahabat Anas disini tidak menyebutkan
apakah itu adalah perbuatan Nabi dan
ucapannya atau bukan. Jika demikian, maka kita mengambil yang jelas dari ucapan
dan perbuatan Nabi yaitu aqiqah dengan menyembelih kambing. Adapun hadits riwayat
ath Thabarani (yang artinya) : Barangsiapa yang dianugerahi anak laki-laki
hendaklah ia mengaqiqahinya dengan unta, sapi dan kambing”. [al mu’jam ash shaghir
: 45] maka hadits ini dinyatakan maudhu’ (palsu) oleh ulama, padanya banyak
cacat pada sanadnya dan yang paling menonjolnya adalah padanya ada rawi bernama
Mas’ud bin al Yasa . Berkata al hafidz al haitsami : dia pendusta [lihat irwa’ul
ghalil 4/393-394 ]
Kemudian,
menurut sebagian ulama bahwa kambing untuk aqiqah memiliki kriteria seperti
kambing yang sah untuk qurban yaitu yang telah berumur setahun ,tidak buta
,tidak kurus kering, tidak pincang, tidak sakit dan tidak boleh dijual
sedikitpun dari daging dan kulitnya dan boleh di patahkan tulangnya. Dan bagi
yang mengaqiqahi boleh makan darinya dan mensedekahkannya. [Tuhfatul Maudud
:53]
·
Jumlah kambing yang disembelih
untuk aqiqah
Seperti
telah disebutkan bahwa untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak
perempuan satu kambing. Dan tidak ada masalah apakah kambing yang disembelih
itu jantan atau betina sebagaimana telah datang yang demikian dari sabdanya
Nabi [Bisa dilihat dalam Shahih Sunan at Tirmidzi
2/164-165 no : 1517]
-
Masalah : Bila
seorang hanya mampu mengaqiqahi anak laki-lakinya dengan satu kambing, maka
sebagian ulama mengatakan itu telah sah dan maksud dari aqiqah telah tercapai.
Akan tetapi bila suatu saat nanti Allah memberi kecukupan kepadanya untuk
aqiqah maka ia menyembelih satu kambing lagi sehingga menjadi dua kambing, ini
yang utama. [asy Syarhul mumti’ Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin 7/318]
·
Waktu aqiqah
Waktu
penyembelihannya adalah dihari ketujuh dengan dihitung dari hari kelahirannya.
Ini berlandaskan hadits Nabi :
كُلُّ غُلَامٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih baginya pada
hari ketujuhnya”. [Hr Abu Daud (2838) dari Samurah bin Jundub. Dan lihat Shahih
sunan at Tirmidzi no : 1522]
Berlandaskan
hadits ini dan selainnya bahwa waktu penyembelihannya adalah di hari ketujuh
dan tidak boleh menyembelih untuk aqiqah sebelum hari ketujuh. Bila dia tidak
menyembelih dihari ketujuh maka dia menyembelih kapan saja ia mampu sebagai hal
yang wajib. [al Muhalla 7/523]
Bila
seorang mampunya menyembelih setelah hari ketujuh maka kapan saja ia mampu
melakukannya dan tidak menentukan hari tertentu. Adapun yang diriwayatkan dari
Nabi bahwa beliau bersabda (yang artinya) :
“Disembelih pada hari ketujuh, hari keempat belas dan hari kedua puluh satu”
maka hadits ini lemah tidak bisa menjadi landasan hukum. Hadits ini
diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam as Sunan 9/303 dan ath Thabarani dalam
mu’jam ash Shaghir dari hadits Buraidah. Dalam sanadnya ada rawi bernama Ismail
bin Muslim al Makki , ia dhaif (lemah) [lihat Irwaul Ghalil 4/395]
Masalah : Bila bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh apakah diaqiqahi?
Sebagian
ulama berpendapat bahwa aqiqah tidak gugur darinya. Alasannya, karena
dalil-dalil syari’at yang datang tentang aqiqah yang menunjukkan waktu
penyembelihannya (yaitu hari ketujuh) yang seperti ini tidak menunjukkan
tentang gugurnya aqiqah bila anak itu mati sebelum hari ketujuh. Karena,
dalil-dalil tersebut secara garis besarnya menunjukkan bahwa aqiqah
disyariatkan karena kelahiran anak dan disembelih pada hari ketujuh. [lihat
fatawa allajnah addaimah 11/445]
Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mempunyai perincian tentang bayi yang
lahir yang (disyariatkan untuk) diaqiqahi apakah disyaratkan ia lahir dalam
keadaan hidup? Dan apakah disyaratkan janin yang keluar sudah di tiup padanya
ruh?
Beliau
menyebutkan ada empat tingkatan :
Pertama : bayi keluar sebelum ditiup padanya ruh maka tidak di aqiqahi.
Kedua : bayi keluar sudah mati dalam keadaan telah ditiup padanya ruh
maka ada dua pendapat ulama.
Ketiga : lahir dalam keadaan hidup dan meninggal sebelum hari ketujuh.
Dalam hal ini juga ada dua pendapat ulama. Namun pendapat yang menyatakan di
aqiqahi lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan diaqiqahi pada tingkatan
kedua.
Kempat : ia hidup sampai hari ketujuh dan meninggal dihari kedelapan
(sebelum diaqiqahi) maka ia di aqiqahi [ asy Syarhul Muti’ 7/320]
·
Yang dibebani mengaqiqahi anak
Asalnya
yang dibebani mengaqiqahi adalah bapaknya anak, akan tetapi bila bapaknya sudah
meninggal maka ibu disini yang menduduki kedudukan bapak [ asy Syarhul Mumti’
7/318]
Dan
boleh pula yang mengaqiqahi anak tersebut orang lain selain ayah dan ibunya
sebagaimana Nabi mengaqiqahi
al Hasan dan al Husain [lihat sunan Abu Daud no : 2841]
·
Bolehnya mengaqiqahi diri sendiri
Sahabat
Anas bin Malik menyebutkan bahwa Nabi mengaqiqahi
dirinya sendiri setelah di utus menjadi Nabi Jalan
periwayatan hadits ini dari Anas ada dua jalan.
Jalan pertama : Dari Abdullah bin al Muharror dari Qatadah dari Anas. Melalui
jalan ini Abdurrozzaq meriwayatkannya dalam al mushannaf 4/329 /7960 dan al
Bazzar dalam musnadnya (2/74/1237) dan yang lainnya. Al Bazzar berkata : “Abdullah
bin al Muharror menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini dan dia dhaif jiddan
(lemah sekali)….
Jalan kedua : Dari al Haitsam bin jamil ia berkata : “Telah bercerita kepada
kami Abdullah bin al Mutsanna bin Anas dari Tsumamah bin Anas dari Anas. Melalui
jalan ini ath Thahawi meriwayatkan dalam musykilul atsar 1/471, ath Thabaroni
dalam al mu’jam al ausath dan lainnya. Hadits ini dinyatakan sanadnya hasan
(bagus) oleh Asy Syaikh al Albani dan dinyatakan kuat oleh imam al Isybili
dalam al ahkam.
Sebagian
salaf berpendapat dengan mengamalkan hadits ini. Diantaranya adalah Ibnu Sirin,
ia berkata : “Bila aku tahu bahwa aku belum diaqiqahi maka aku akan mengaqiqahi
diriku sendiri.
Al
Hasan al Bashri berkata : “Jika kamu belum di aqiqahi maka aqiqahilah dirimu,
meskipun kamu sudah menjadi seorang lelaki (dewasa).
Kedua
atsar diatas dinyatakan kuat oleh Syaikh al Albani [Bisa dilihat tentang hal
ini dalam as silsilah ash shahihah 6/502-506]
·
Membagikan daging aqiqah
Daging
aqiqah diberikan kepada para tetangga dan orang-orang miskin. Dan bagi yang
mengaqiqahi dan keluarganya diperbolehkan makan dari sebagiannya. Pembagian
daging aqiqah boleh dalam keadaan masih mentah atau sudah matang. Bahkan boleh
juga dimasak dengan dicampur dengan sesuatu selain daging aqiqah. Hanya saja
bila dibagikan dalam keadaan matang tentu lebih baik karena sudah tidak
merepotkan para tetangga dan orang-orang miskin untuk memasaknya. Dengan ini
mereka lebih senang karena tidak pelu repot-repot memasaknya. [lihat tuhfatul
maudud halaman 50 dan 55 cetakan al mu’ayyad]
Dibolehkan
juga mengundang manusia untuk memakan daging aqiqah. Hal ini berlandaskan atsar
Mu’awiyah bin Qurrah, ia berkata :”Ketika lahir anakku, Iyas, aku mengundang
beberapa orang dari Sahabat Nabi kemudian
aku memberi mereka makan ……[Shahih al adab al Mufrad no: 950] Disebutkan dalam
fatawa allajnah addaimah (komite fatawa ulama Saudi) 11/443-444 : “ Orang yang
mengaqiqahi boleh membagikan dagingnya masih mentah atau sudah dimasak.
(Diberikan) kepada orang-orang fakir, tetangga, kerabat dan rekan-rekan. Dia
dan keluarganya boleh memakan darinya. Dan boleh bagi dia untuk mengundang
manusia, yang fakir dan yang kaya, lalu memberi mereka makanan dari daging
aqiqah, di rumahnya dan yang semisalnya.
·
Hikmah aqiqah
Aqiqah
merupakan ibadah yang padanya sarat makna dan hikmah, diantaranya :
1. Menghidupkan
Sunnah Nabi dimana beliau melakukannya dan memerintahkan
umatnya untuk melakukannya.
2. Bentuk
berqurban bagi anak untuk mendekatkan diri kepada Allah di saat-saat awal ia
terlahir di dunia.
3. Aqiqah akan
melepaskan anak dari statusnya yang tergadaikan sebagaimana sabda Nabi (yang artinya) :”Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya”. [Hadits Shahih
riwayat Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasai dan Ibnu Majah]
Ulama
berbeda pendapat tentang maksud dari tergadaikan disini. Ada ulama yang
mengatakan bahwa anak tidak bisa memberi syafaat orang tuanya bila tidak
diaqiqahi. Ini pendapat ‘Atho dan diikuti oleh Imam Ahmad. Akan tetapi Imam
Ibnul Qoyyim tidak sependapat dengan penafsiran ini dengan beberapa alasan :
Diantaranya, bahwa syafaat di hari Kiamat tidak terjadi kecuali jika yang
memberi syafaat di beri izin oleh Allah dan orang-orang yang diberi syafaat
adalah orang yang diridhoi Allah karena tauhid dan ikhlasnya. Demikian pula
lafal hadits tidak ada yang menunjukkan kepada penafsiran ‘Atho. Ibnul Qoyyim
lebih cenderung bahwa yang dimaksud dengan tergadaikan adalah terhalangi dari hal
yang ia sedang berusaha untuk mendapatkannya. Dengan anak itu diaqiqahi maka
Allah melepaskan anak itu dari kekangan syaithan yang selalu menempel pada bayi
sejak ia terlahir di dunia ini dan syaithan menusuk pada pinggangnya bayi
.[Tuhfatul Maudud biahkamil maulud halaman 46-49]