Membantu
Tercapainya Kebutuhan Seorang Muslim
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi, Lc
Adalah sikap
tercela manakala seorang hanya memikirkan maslahat dirinya sendiri tanpa peduli
dengan nasib saudaranya. Bahkan seorang tidak akan dikatakan sebagai mukmin
yang sempurna imannya bila tidak menyukai kebaikan bagi saudaranya seperti apa
yang ia suka untuk dirinya. Nabi bersabda :
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“ Tidak beriman salah seorang kalian sampai ia cinta bagi
saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya”. [Hr. Al Bukhori dan Muslim
dari Anas bin Malik]
Hal yang
demikian karena masyarakat muslimin seperti satu tubuh, bilamana ada salah satu
anggota tubuh yang sakit maka anggota tubuh yang lainnya akan ikut
merasakannya. Seorang muslim yang baik niscaya akan bahagia bila muslim yang
lainnya berada dalam keadaaan yang baik dan sebaliknya bila mengetahui
saudaranya berada dalam kondisi kesulitan maka dia bersedih dan ikut memikirkan
upaya melepaskan penderitaan saudaranya.
Sungguh,
bila seorang bisa menyuguhkan kebaikan bagi saudaranya seiman berarti dia
telah mengukir kemuliaan dalam hidupnya
yang kelak akan senantiasa terkenang. Dia juga akan meraih predikat
sebaik-baiknya orang. Nabi bersabda :
خَيْرَ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“ Sebaik-baik orang adalah yang paling berguna bagi orang lain”. [Hr.Al
Qudho’ie dan dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shohihah No: 426]
Usaha orang
seperti ini tak akan sia-sia sebagaimana firman Alloh :
ﭽ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ
ﮠ ﮡ ﮢ ﭼ المزمل: ٢٠
“Dan kebaikan apa saja yang kamu
perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Alloh sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya”. [QS Al
Muzammil : 20]
Bantuan dari Allah akan terus mengalir
kepadanya selama dia mau membantu saudaranya karena tentunya balasan sesuai
dengan perbuatan.
·
Memberi
Syafa’at
Diantara kebaikan yang dianjurkan dan besar keutamaannya
tersebut adalah memberi syafa’at untuk seorang dihadapan orang lain. Dan yang
dimaksud dengan syafa’at disini adalah permohonan kabaikan untuk orang lain
yaitu seorang menjadikan dirinya sebagai perantara untuk mengemukakan
hajat/kebutuhan saudaranya dihadapan orang lain agar dia membantu tercapainya
tujuan saudaranya. Syafi’ (pemberi syafa’at/perantara) ini biasanya orang yang
terpandang ditengah-tengah masyarakat sehingga kemungkinan besar permintaan
orang seperti ini untuk saudaranya akan dikabulkan oleh penguasa dan
semisalnya.
Hendaknya, kedudukan yang dimiliki seorang bisa
dimanfaatkan untuk memperjuangkan nasib saudaranya-saudaranya seiman. Nabi
bersabda :
اِشْفَعُوْا فَلْتُؤْجَرُوْا
“Berilah syafaat niscaya kalian akan
diberi pahala”. [Muttafaqun’alaihi
dari hadits Abu Musa al Asy’ari]
Hadits ini mengandung faedah yang besar yaitu bahwa
seorang hamba seyogiyanya berusaha dalam perkara-perkara kebaikan. Sama saja
apakah usaha ini akan membuahkan hasil secara sempurna atau sebagiannnya atau
bahkan hasilnya nihil. Diantara usaha tersebut
adalah memberi syafaat bagi orang lain dihadapan penguasa, pembesar dan
orang-orang yang kebutuhannya terkait dengan mereka.
Umumnya orang itu malas untuk memberi syafa’at/menjadi
perantara bagi orang lain bila dia belum yakin akan diterima syafa’atnya.
Dengan sikap ini seorang telah melewatkan kebaikan yang besar berupa pahala
dari Alloh dan melewatkan kesempatan untuk berbuat baik kepada saudaranya. Oleh
karena itu Nabi memerintahkan para sahabat untuk membantu tercapainya kebutuhan
saudaranya agar mereka bersegera meraih pahala disisi Alloh. Syafaat yang baik
itu dicintai Aloh sebagaimana firmanNya:
ﭽ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﭼ النساء: ٨٥
“Barangsiapa yang memberikan
syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya”. [QS.An Nisa : 85]
Dengan syafa’at ini seorang telah bersegera meraup pahala
dari Alloh dan bersegera menyuguhkan kebaikan bagi saudarannya dan juga bisa
jadi syafa’atnya menjadi sebab tercapainya seluruh kebutuhan saudaranya atau
sebagiannya,dan seperti itu memang realitanya. Dengan syafa’at ini juga seorang
telah menutup pintu yang mengarah kepada sikap pesimis karena mencari dan usaha
merupakan pertanda adanya harapan untuk tercapainya tujuan.[Lihat Bahjatul
Qulub karya Syaikh As Sa’di Syarh hadist ke-14]
·
Tidak
Memberi Syafa’at pada perkara yang haram
Anjuran untuk menjadi perantara agar tercapinya kebutuhan
seorang seperti yang telah lalu penyebutannya hanyalah pada perkara-perkara
kebaikan dan yang tidak ada pelanggaran syareat padanya. Oleh karenanya bila
seorang memberi syafa’at untuk orang lain dihadapan penguasa misalnya agar
orang tersebut diberi ijin membangun tempat-tempat maksiat maka syafaat ini
haram hukumnya dan dia ikut menanggung dosa sebagaimana firman Alloh :
ﭽ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﭼ النساء: ٨٥
“Dan barangsiapa yang memberi
syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.” [QS
an Nisa : 85]
Termasuk syafa’at yang haram adalah yang ada padanya
bentuk pemudhorotan, misalnya kamu mengusulkan seseorang kepada yang punya
kebijakan agar orang itu menduduki suatu jabatan yang jabatan tersebut telah
ada yang memegangnya dari orang yang mumpuni. Bila kamu melakukan hal ini
berarti kamu telah ikut mendzalimi hak saudaramu dan ikut andil dalam
meretakkan sendi-sendi ukhuwwah (persaudaraan) ditengah-tengah ummat.
Diantara syafa’at yang haram juga adalah yang padanya ada
bentuk melindungi orang yang berbuat kejahatan yang harus dihukum agar dia
tidak dihukum.Nabi bersabda :
مَنْ حَالَّتْ شَفَاعَتَهُ دُوْنَ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ فَقَدْ ضَادَ
اللهَ
“Barangsiapa syafa’atnya
menghalang-halangi suatu had (hukuman yang ada ketentuannya dalam syareat) dari
had-hadnya Alloh maka dia telah menentang Alloh”. [Hr.
Abu Dawud dll.Asy Syaikh Al Albani mengatakan Shohih dalam shohih al jami’ No:
6196]
Dahulu ada seorang wanita dari bani Makhzum mencuri dan
hukuman potong tangan akan diberlakukan padanya. Maka keluarga wanita itu
datang pada shahabat Nabi yang bernama Usamah bin Zaid, orang yang dicintai
Nabi, mereka meminta kepada Usamah untuk menyampaikan kepada Nabi agar beliau
menggugurkan hukuman tersebut. Usamah pun menyampaikan kepada Nabi.maka Nabi
menegurnya dengan mengatakan :”Apakah kamu akan memberi syafa’at pada suatu had
dari had-hadnya Alloh?!. Lalu Nabi berdiri dan menyampaikan ceramahnya (yang
artinya):”Wahai manusia, hanyalah yang menjadikan orang sebelum kalian tersesat
adalah karena mereka apabila orang yang mulia itu mencuri mereka membiarkannya
dan apabila yang mencuri orang yang lemah maka mereka menegakkan padanya
hukuman ditengah-tengah mereka. Demi Alloh, andaikata Fatimah puteri (Nabi)
Muhammad itu mencuri niscaya Muhammad akan memotong tangannya”.[lihat Shohih al
Bukhori No: 6788]
Ulama mengatakan bahwa larangan memberi syafa’at dalam
perkara seperti ini apabila pelaku kejahatan tersebut telah dihadirkan
dihadapan penguasa. Adapun bila belum sampai dihadirkan dan diupayakan adanya
mediasi untuk tidak dipotong atau orang yang dicuri barangnya memaafkan maka
hukuman bisa gugur atas pencuri tersebut. Terlebih bila sipencuri itu ada
semacam penyesalan dan bukan orang yang terkenal jahat”.[lihat Fathul Bari 12/87-96
cetakan assalafiyah yang pertama)
Berkata Al Qodhi’Iyadh : “Adapun orang-orang yang
terus-menerus melakukan kejahatan dan terkenal kebatilannya maka mereka tidak
boleh diberi syafa’at (pembelaan agar tidak dihukum), hal ini untuk memunculkan
efek jera”.[Fathul Bari10/451]
·
Syafa’at
ditolak?
Oang yang memberi syafa’at saudaranya telah meraih pahala
meski syafa’atnya tidak diterima. Cukuplah dengan syafa’at ini dia telah
membuktikan kecintaan dan kepeduliannya terhadap problem saudaranya. Sedangkan
keberhasilan usahanya bukan menjadi tanggung jawabnya. Orang yang ditolak
syafa’atnya tak perlu kecewa apalagi memendam kebencian kepada yang menolaknya,
karena Rosululloh, pimpinan seluruh manusia, pun pernah tidak diterima
syafa’atnya.
Dahulu Bariroh dan suaminya, Mughits, adalah menyandang
status sebagai budak. Lalu Bariroh dimerdekakan oleh tuannya. Ketentuannya,
bila seorang isteri itu telah merdeka dan suaminya masih statusnya budak maka
wanita itu punya pilihan, adakalanya ingin terus melanjutkan hubungan rumah
tangga atau kalau tidak mau diberi kebebasan untuk bercerai/berpisah dengan
suaminya. Bariroh memilih pisah dengan Mughits. Mengetahui yang sepeti ini
Mughits tak kuasa menahan air matanya. Dia begitu berat pisah dengan Bariroh
karena sangat mencintinya. Mughits sambil menangis mondar-mandir dibelakang
Bariroh. Melihat seperti itu Rosululloh iba kepada Mughits maka beliau
memanggil Bariroh seraya memberi tawaran kepadanya untuk kembali kepada
Mughits, Bariroh bertanya: “Wahai Rosululloh apakah ini perintah dari anda
kepadaku? Beliau menjawab :”Saya hanya memberi syafa’at”. Bariroh
mengatakan:”Aku tidak ingin kembali kepadanya”.[lihat Shohih Al Bukhori 5283]
Diantara faedah kisah tersebut:
1. Bolehnya seorang untuk tidak mengikuti saran orang lain
dalam perkara yang bukan wajib.
2. Disunnahkan memasukkan kebahagiaan kepada seorang muslim.
3. Orang yang memberi syafa’at mendapat pahala sekalipun
permintaannya tidak dikabulkan.
[Fathul Bari 9/414]
Disebutkan dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Qudamah
bahwa ia banyak menuliskan syafa’at bagi orang-orang yang datang (meminta)
kepadanya untuk disampaikan kepada penguasa. Maka, pada suatu hari petugas yang
mengurusi (permohonan-permohonan) mengatakan kepada Ibnu Qudamah :”Sesungguhnya
Anda menulis kepada kami (permohonan) orang-orang yang kami tidak ingin
menerima syafa’at bagi mereka dan kami (juga) tidak ingin menolak tulisanmu.
Ibnu Qudamah berkata: “Adapun saya maka saya telah membantu keinginan
orang yang datang (meminta bantuan)
kepadaku sedangkan kamu (maka terserah). Jika kamu ingin (kamu) menerima
tulisanku dan jika tidak maka tidak mengapa. Petugas tersebut mengatakan :
“Kami tidak akan menolaknya selama-lamanya”.[ Dinukil dalam kitab Ma’alim fi
thoriqi tholabil ilmi hal 161 dari kitab dzail thobaqot Al Hanabilah]
·
Berzakat
dengan kedudukan
Membantu orang lain tak selamanya harus dengan harta atau
tenaga, bahkan kedudukan yang kamu miliki bisa kamu manfaatkan untuk
memperjuangkan nasib saudara-saudaramu.
Dahulu ada seorang (alim) bernama Al Hasan bin Sahl
datang kepadanya seorang meminta syafa’at darinya dalam suatu keperluan. Al
Hasan mengabulkan keinginannya, lalu orang tersebut datang mengucapkan
terimakasih kepadanya. Maka , Al Hasan bin Sahl mengatakan: “Mengapa kamu
berterimakasih kepada kami, padahal kami memandang bahwa kedudukan (juga) ada
zakatnya seperti harta! Lalu Al Hasan menyebutkan syairnya yang artinya kurang
lebih sebagai berikut :
-
Diwajibkan
atasku memberi zakat yang dimiliki tanganku.
-
Sedangkan
zakat kedudukan adalah dengan membantu dan memberi syafa’at
-
Bila
kamu punya (harta) maka berdermalah, dan jika belum mampu
-
Maka
curahkan segala daya dan upayamu untuk memberi manfaat.
[Al Adab Asy Syar’iyyah]
Disebutkan dalam biografi Abdulloh bin ‘Utsman (‘Abdan)
Syaikhnya Imam Al Bukhori bahwa ia mengatakan: Tidaklah seorang meminta
kepadaku suatu kebutuhan kecuali aku membantunya dengan diriku sendiri, jika
tidak tercapai maka aku bantu dengan hartaku, bila belum tercapai maka aku
meminta bantuan teman-temanku dan bila belum tercapai maka aku meminta bantuan
kepada penguasa.
Imam Ibnu Muflih menyebutkan bahwa Imam Ibnul Jauzi
berkata: adalah Harun Ar Raqqi telah berjanji kepada Alloh untuk tidak menolak
seorangpun yang meminta kepadanya agar menuliskan syafa’at untuknya kecuali ia
menuliskannya. Maka, pernah datang kepadanya seorang lelaki dan mengatakan
bahwa anaknya tertawan di Romawi, lelaki tersebut meminta kepadanya untuk
menulis kapada raja Romawi agar melepaskan anaknya. Ar Roqqi mengatakan: “Aduh
kamu, darimana raja Romawi mengenalku, dan jika ia bertanya tentang aku, maka
akan dijawab bahwa dia (aku) muslim lalu bagaimana dia akan mengabulkan hakku?!
Orang yang meminta tadi mengatakan: sebutkan janjimu kepada Alloh ta’ala. Maka
Ar Roqqi menuliskan untuknya kepada raja Romawi. Tatkala sang raja membaca
tulisannya ia bertanya: siapa orang ini? Lalu dikatakan kepadanya bahwa orang
ini telah berjanji kepada Alloh untuk tidak diminta agar menuliskan syafa’at
kecuali ia menuliskannya kepada siapapun dia. Sang raja berkata: “Orang ini
berhak dikabulkan,
lepaskanlah tawanannya…”[Al Adab Asyar’iyyah 2/172]
والله
تعالى أعلم بالصواب