Para pembaca yang mulia, buletin kali ini adalah sajian khusus
untuk kaum wanita di bulan Ramadhan. Namun bukan berarti hanya khusus
dibaca oleh mereka saja, karena faedahnya bisa diambil oleh selainnya.
Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang dirindukan oleh para pencari kebaikan. Pada bulan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu al-Jannah (surga) dan menutup pintu-pintu an-Naar (neraka), serta membelenggu syaithan, setelah itu diserukan:
“…Wahai para pencari kebaikan, sambutlah…” (HR. at-Tirmidzi no. 682 dan yang lainnya)
Sore hari, seorang ibu rumah tangga sibuk menyiapkan hidangan buka puasa untuk keluarganya. Malam harinya menjelang sahur, ia pun bangun lebih awal untuk menyiapkan hidangan makan sahur. Kesibukan semakin bertambah di kala pekan terakhir menjelang Idul Fitri, sang ibu sibuk merancang aneka masakan ataupun kue untuk dihidangkan pada hari yang berbahagia itu. Ia juga memikirkan baju baru untuk anak-anaknya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tambahan hidayah kepada para ibu dan balasan yang baik atas amalan yang mereka lakukan.
Nasehatku untuk para ibu dan kaum wanita, walaupun kalian memikul tugas dan kewajiban yang berat, namun jangan sampai lalai untuk mempelajari ibadah puasa yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, terkhusus yang terkait dengan kalian sendiri. Laksanakanlah ibadah puasa dengan sebenar-benarnya, karena ia sebagai wasilah (perantara) untuk meraih derajat takwa, suatu bekal yang paling baik dan paling berharga untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Amalan-amalan Mubah
Ada beberapa masalah yang disangka membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan. Di antaranya:
1. Dalam hal memasak
Tidak mengapa mencicipi masakan bila diperlukan selama tidak ditelan dengan sengaja. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad dengan lengkap) bahwa beliau berkata:
“Tidaklah mengapa (bagi orang yang berpuasa) mencicipi masakan atau sesuatu yang lain.”
(Lihat Fathul Bari hadits no. 1930)
Kemudahan yang diberikan oleh agama ini manfaatkanlah dengan tanpa berlebihan. Masalah ini kelihatannya sepele, namun bisa menjadi penting dan berarti, karena jika masakan yang disajikan itu enak rasanya tentu lebih disukai oleh keluarga.
Nasehatku, di saat kalian memasak janganlah berlebihan dalam hidangan berbuka atau sahur dengan berbagai macam masakan dan minuman. Perhatikanlah waktu dengan sebaik-baiknya. Di kala sore hari saat memasak jangan lupa sisakan waktu untuk berdzikir (dzikir petang), karena itu adalah amalan yang besar apalagi di bulan Ramadhan.
Demikian pula di malam hari saat menyiapkan makan sahur sisakan waktu untuk berdoa, karena waktu sahur termasuk di antara waktu-waktu yang mustajab.
2. Berhias atau berdandan
Tidaklah mengapa kalian berdandan di depan suami atau mahram-nya. Memakai inai (pacar kuku), parfum (selama tidak untuk keluar rumah), memotong kuku, mencabut bulu ketiak, atau yang lainnya selama tidak melanggar batasan syariat.
3. Bercumbu dengan Suami
Di siang hari tidak mengapa kalian bercumbu dan bercengkerama dengan suami, asalkan tidak dikhawatirkan terjatuh ke dalam amalan yang diharamkan ketika berpuasa yaitu jimak (bersetubuh). Al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Aisyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengekang syahwatnya di antara kalian”. (HR. al-Bukhari no. 1826 dan Muslim no. 1106)
Asy-Syaikh bin Baz berkata, “Ciuman, cumbuan dan sentuhan seorang suami terhadap istrinya tanpa hubungan jimak dalam keadaan ia berpuasa semua itu boleh, tidak ada pantangan baginya. Dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa. Namun apabila dikhawatirkan menyebabkan terjatuh ke dalam hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena syahwatnya mudah bangkit, maka hal itu makruh baginya. (Lihat Fatawa Ramadhan no. 379 dan 380)
Wanita Haid atau Nifas
Haid dan nifas, keduanya adalah pembatal puasa, dengan demikian seorang wanita yang mengalami haid atau nifas haram baginya berpuasa dan diwajibkan mengqadha’ (mengganti puasa yang ditinggalkan) di hari yang lain. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah ditanya oleh Mu’adzah, mengapa seorang wanita yang haid diwajibkan mengqadha’ puasa namun tidak mengqadha’ shalat? Aisyah menjawab:
“Dahulu kami di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengalami haid, namun kami (hanya) diperintah mengqadha’ puasa dan tidak diperintah mengqadha’ shalat. (HR. Muslim no. 335)
Hadits di atas berkenaan dengan wanita yang sedang haid, lalu bagaimana dengan wanita yang sedang nifas? Para ulama sepakat bahwa hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang haid berlaku pula untuk wanita yang sedang nifas. Karenanya, wanita yang sedang nifas tidak boleh baginya berpuasa namun menggantinya di hari yang lain, sebagaimana wanita yang mengalami haid.
Permasalahan yang terkait dengan haid dan nifas:
1. Wanita yang datang haidnya menjelang matahari terbenam.
Hendaknya permasalahan ini jangan dianggap ringan atau sepele, karena sangat mungkin terjadi pada kaum wanita. Jawaban masalah ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da`imah, “Jika seorang wanita itu datang haidnya sebelum matahari terbenam, maka puasanya batal dan wajib atasnya mengganti di hari yang lain.” (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 1034, diketuai oleh Asy-Syaikh Bin Baz)
2. Wanita yang suci dari haid atau nifas pada siang hari Ramadhan.
Wajib baginya untuk segera mandi dan sejak itu diwajibkan melaksanakan shalat. Adapun yang terkait dengan ibadah puasa, maka ada sebagian ulama yang berpendapat wajib baginya untuk menahan dari makan, minum, dan seluruh pembatal puasa dari sisa waktu pada siang hari itu hingga matahari terbenam, namun tetap wajib atasnya mengqadha’ pada hari yang lain. Sebagian yang lain berpendapat tidak ada kewajiban menahan dari semua pembatal puasa, hanya saja diwajibkan mengqadha’ pada hari yang lain. Karena pada awalnya ia adalah seorang wanita yang sedang haid yang tidak boleh baginya berpuasa. Pendapat kedua ini yang dipilih oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. (Lihat soal pertama dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
3. Wanita yang suci menjelang terbitnya fajar shadiq awal waktu shalat subuh.
Kalau memang wanita itu suci sebelum terbitnya fajar, maka wajib baginya puasa walaupun ia baru sempat mandi setelah adzan subuh, dan puasanya sah serta tidak ada kewajiban qadha’ baginya.
4. Wanita yang berhenti (suci) dari nifas kurang dari 40 hari, maka wajib atasnya untuk mandi kemudian berlaku kembali kewajiban shalat dan puasa. (Lihat soal ke-4 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
5. Wanita yang mengalami istihadhah (darah yang keluar dari rahim, selain darah haid atau nifas), maka tetap wajib baginya shalat dan puasa sebagaimana hukum wanita yang suci. Hanya saja untuk ibadah shalat wajib baginya untuk berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat.
6. Apa hukum meminum obat pencegah haid yang diperkirakan oleh seorang wanita bahwa haidnya akan datang pada bulan Ramadhan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berpendapat tidaklah mengapa selama tidak mendatangkan efek samping yang membahayakan bagi kesehatan tubuhnya.
Asy-Syaikh al-’Utsaimin menasehatkan kepada kaum wanita, “Saya memperingatkan agar menjauh dari perbuatan itu. Dikarenakan obat-obat itu mengandung efek samping yang sangat besar bahayanya, saya mendapatkan keterangan ini dari para dokter. Maka perlu disampaikan kepada kaum wanita bahwa masalah haid ini sudah menjadi takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita dari anak-cucu Adam, maka terimalah ketetapan-Nya dan berpuasalah selama tidak ada yang menghalangimu (haid). Dan jika kamu mendapati haid tersebut maka berbukalah (jangan berpuasa) dengan penuh ridha terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat soal ke-23 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
Wanita Hamil atau Menyusui
Pada dasarnya, hamil atau menyusui bukanlah penghalang bagi wanita untuk berpuasa. Tetapi agama ini telah memberikan keringanan bagi keduanya untuk tidak berpuasa jika dengan puasa itu dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan janin/ bayinya atau salah satunya. Namun apa konsekuensinya?
Pembahasan masalah ini telah dibahas panjang lebar oleh para ulama. Ringkasnya, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang berpendapat bahwa keduanya wajib mengqadha` puasa dan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat wajib qadha’ saja, dan ada yang berpendapat wajib membayar fidyah saja, baik karena khawatir kondisi dirinya atau khawatir terhadap janin atau bayinya.
Wallahu a’lam, pendapat ketiga (terakhir) ini yang penulis pilih, tentu saja dengan tetap menghormati pendapat yang lain. Dasarnya adalah pernyataan dari shahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan dalam Tafsir ath-Thabari hadits no. 2759 atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau melihat seorang ibu yang mengandung atau menyusui, beliau berkata:
“Kamu seperti keadaan orang yang tidak ada kemampuan berpuasa, maka hanyalah wajib bagimu membayar fidyah dengan memberi makan pada setiap harinya seorang yang miskin dan tidak ada kewajiban qadha’ bagimu.”
Diriwayatkan di dalam Sunan ad-Daruquthni no. 2413 atsar dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, suatu saat istrinya yang sedang hamil bertanya kepadanya, maka beliau berkata:
“Berbukalah dan berilah makan pada setiap harinya seorang yang miskin.”
Kedua riwayat di atas dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam al-Irwa’ 4/18.
Nasehatku, ketika kalian tidak menjalankan ibadah puasa karena datangnya haid, nifas, hamil, menyusui, atau sebab yang lain, maka hendaknya kalian menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang lain, seperti menjaga dzikir di waktu pagi dan petang yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak lupa juga memperbanyak amalan shadaqah, dan meramaikan rumah kalian dengan berbagai amalan kebaikan yang lainnya.
Demikian juga di saat kalian tidak berpuasa hendaknya tetap menjaga lisan dari berbuat ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mencela, berkata-kata kotor atau berbuat dengan perbuatan-perbuatan orang bodoh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamenerima amalan kita dan menggolongkan kita termasuk hamba-Nya yang bertakwa.
Wallahu a’lamu bish shawab…
Penulis: Ustadz Arif Abdurrahman
Sumber http://buletin-alilmu.net/2011/08/14/wanita-di-bulan-ramadhan/
Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang dirindukan oleh para pencari kebaikan. Pada bulan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu al-Jannah (surga) dan menutup pintu-pintu an-Naar (neraka), serta membelenggu syaithan, setelah itu diserukan:
“…Wahai para pencari kebaikan, sambutlah…” (HR. at-Tirmidzi no. 682 dan yang lainnya)
Sore hari, seorang ibu rumah tangga sibuk menyiapkan hidangan buka puasa untuk keluarganya. Malam harinya menjelang sahur, ia pun bangun lebih awal untuk menyiapkan hidangan makan sahur. Kesibukan semakin bertambah di kala pekan terakhir menjelang Idul Fitri, sang ibu sibuk merancang aneka masakan ataupun kue untuk dihidangkan pada hari yang berbahagia itu. Ia juga memikirkan baju baru untuk anak-anaknya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tambahan hidayah kepada para ibu dan balasan yang baik atas amalan yang mereka lakukan.
Nasehatku untuk para ibu dan kaum wanita, walaupun kalian memikul tugas dan kewajiban yang berat, namun jangan sampai lalai untuk mempelajari ibadah puasa yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, terkhusus yang terkait dengan kalian sendiri. Laksanakanlah ibadah puasa dengan sebenar-benarnya, karena ia sebagai wasilah (perantara) untuk meraih derajat takwa, suatu bekal yang paling baik dan paling berharga untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Amalan-amalan Mubah
Ada beberapa masalah yang disangka membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan. Di antaranya:
1. Dalam hal memasak
Tidak mengapa mencicipi masakan bila diperlukan selama tidak ditelan dengan sengaja. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad dengan lengkap) bahwa beliau berkata:
“Tidaklah mengapa (bagi orang yang berpuasa) mencicipi masakan atau sesuatu yang lain.”
(Lihat Fathul Bari hadits no. 1930)
Kemudahan yang diberikan oleh agama ini manfaatkanlah dengan tanpa berlebihan. Masalah ini kelihatannya sepele, namun bisa menjadi penting dan berarti, karena jika masakan yang disajikan itu enak rasanya tentu lebih disukai oleh keluarga.
Nasehatku, di saat kalian memasak janganlah berlebihan dalam hidangan berbuka atau sahur dengan berbagai macam masakan dan minuman. Perhatikanlah waktu dengan sebaik-baiknya. Di kala sore hari saat memasak jangan lupa sisakan waktu untuk berdzikir (dzikir petang), karena itu adalah amalan yang besar apalagi di bulan Ramadhan.
Demikian pula di malam hari saat menyiapkan makan sahur sisakan waktu untuk berdoa, karena waktu sahur termasuk di antara waktu-waktu yang mustajab.
2. Berhias atau berdandan
Tidaklah mengapa kalian berdandan di depan suami atau mahram-nya. Memakai inai (pacar kuku), parfum (selama tidak untuk keluar rumah), memotong kuku, mencabut bulu ketiak, atau yang lainnya selama tidak melanggar batasan syariat.
3. Bercumbu dengan Suami
Di siang hari tidak mengapa kalian bercumbu dan bercengkerama dengan suami, asalkan tidak dikhawatirkan terjatuh ke dalam amalan yang diharamkan ketika berpuasa yaitu jimak (bersetubuh). Al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Aisyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengekang syahwatnya di antara kalian”. (HR. al-Bukhari no. 1826 dan Muslim no. 1106)
Asy-Syaikh bin Baz berkata, “Ciuman, cumbuan dan sentuhan seorang suami terhadap istrinya tanpa hubungan jimak dalam keadaan ia berpuasa semua itu boleh, tidak ada pantangan baginya. Dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa. Namun apabila dikhawatirkan menyebabkan terjatuh ke dalam hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena syahwatnya mudah bangkit, maka hal itu makruh baginya. (Lihat Fatawa Ramadhan no. 379 dan 380)
Wanita Haid atau Nifas
Haid dan nifas, keduanya adalah pembatal puasa, dengan demikian seorang wanita yang mengalami haid atau nifas haram baginya berpuasa dan diwajibkan mengqadha’ (mengganti puasa yang ditinggalkan) di hari yang lain. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah ditanya oleh Mu’adzah, mengapa seorang wanita yang haid diwajibkan mengqadha’ puasa namun tidak mengqadha’ shalat? Aisyah menjawab:
“Dahulu kami di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengalami haid, namun kami (hanya) diperintah mengqadha’ puasa dan tidak diperintah mengqadha’ shalat. (HR. Muslim no. 335)
Hadits di atas berkenaan dengan wanita yang sedang haid, lalu bagaimana dengan wanita yang sedang nifas? Para ulama sepakat bahwa hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang haid berlaku pula untuk wanita yang sedang nifas. Karenanya, wanita yang sedang nifas tidak boleh baginya berpuasa namun menggantinya di hari yang lain, sebagaimana wanita yang mengalami haid.
Permasalahan yang terkait dengan haid dan nifas:
1. Wanita yang datang haidnya menjelang matahari terbenam.
Hendaknya permasalahan ini jangan dianggap ringan atau sepele, karena sangat mungkin terjadi pada kaum wanita. Jawaban masalah ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da`imah, “Jika seorang wanita itu datang haidnya sebelum matahari terbenam, maka puasanya batal dan wajib atasnya mengganti di hari yang lain.” (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 1034, diketuai oleh Asy-Syaikh Bin Baz)
2. Wanita yang suci dari haid atau nifas pada siang hari Ramadhan.
Wajib baginya untuk segera mandi dan sejak itu diwajibkan melaksanakan shalat. Adapun yang terkait dengan ibadah puasa, maka ada sebagian ulama yang berpendapat wajib baginya untuk menahan dari makan, minum, dan seluruh pembatal puasa dari sisa waktu pada siang hari itu hingga matahari terbenam, namun tetap wajib atasnya mengqadha’ pada hari yang lain. Sebagian yang lain berpendapat tidak ada kewajiban menahan dari semua pembatal puasa, hanya saja diwajibkan mengqadha’ pada hari yang lain. Karena pada awalnya ia adalah seorang wanita yang sedang haid yang tidak boleh baginya berpuasa. Pendapat kedua ini yang dipilih oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. (Lihat soal pertama dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
3. Wanita yang suci menjelang terbitnya fajar shadiq awal waktu shalat subuh.
Kalau memang wanita itu suci sebelum terbitnya fajar, maka wajib baginya puasa walaupun ia baru sempat mandi setelah adzan subuh, dan puasanya sah serta tidak ada kewajiban qadha’ baginya.
4. Wanita yang berhenti (suci) dari nifas kurang dari 40 hari, maka wajib atasnya untuk mandi kemudian berlaku kembali kewajiban shalat dan puasa. (Lihat soal ke-4 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
5. Wanita yang mengalami istihadhah (darah yang keluar dari rahim, selain darah haid atau nifas), maka tetap wajib baginya shalat dan puasa sebagaimana hukum wanita yang suci. Hanya saja untuk ibadah shalat wajib baginya untuk berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat.
6. Apa hukum meminum obat pencegah haid yang diperkirakan oleh seorang wanita bahwa haidnya akan datang pada bulan Ramadhan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berpendapat tidaklah mengapa selama tidak mendatangkan efek samping yang membahayakan bagi kesehatan tubuhnya.
Asy-Syaikh al-’Utsaimin menasehatkan kepada kaum wanita, “Saya memperingatkan agar menjauh dari perbuatan itu. Dikarenakan obat-obat itu mengandung efek samping yang sangat besar bahayanya, saya mendapatkan keterangan ini dari para dokter. Maka perlu disampaikan kepada kaum wanita bahwa masalah haid ini sudah menjadi takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita dari anak-cucu Adam, maka terimalah ketetapan-Nya dan berpuasalah selama tidak ada yang menghalangimu (haid). Dan jika kamu mendapati haid tersebut maka berbukalah (jangan berpuasa) dengan penuh ridha terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat soal ke-23 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
Wanita Hamil atau Menyusui
Pada dasarnya, hamil atau menyusui bukanlah penghalang bagi wanita untuk berpuasa. Tetapi agama ini telah memberikan keringanan bagi keduanya untuk tidak berpuasa jika dengan puasa itu dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan janin/ bayinya atau salah satunya. Namun apa konsekuensinya?
Pembahasan masalah ini telah dibahas panjang lebar oleh para ulama. Ringkasnya, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang berpendapat bahwa keduanya wajib mengqadha` puasa dan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat wajib qadha’ saja, dan ada yang berpendapat wajib membayar fidyah saja, baik karena khawatir kondisi dirinya atau khawatir terhadap janin atau bayinya.
Wallahu a’lam, pendapat ketiga (terakhir) ini yang penulis pilih, tentu saja dengan tetap menghormati pendapat yang lain. Dasarnya adalah pernyataan dari shahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan dalam Tafsir ath-Thabari hadits no. 2759 atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau melihat seorang ibu yang mengandung atau menyusui, beliau berkata:
“Kamu seperti keadaan orang yang tidak ada kemampuan berpuasa, maka hanyalah wajib bagimu membayar fidyah dengan memberi makan pada setiap harinya seorang yang miskin dan tidak ada kewajiban qadha’ bagimu.”
Diriwayatkan di dalam Sunan ad-Daruquthni no. 2413 atsar dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, suatu saat istrinya yang sedang hamil bertanya kepadanya, maka beliau berkata:
“Berbukalah dan berilah makan pada setiap harinya seorang yang miskin.”
Kedua riwayat di atas dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam al-Irwa’ 4/18.
Nasehatku, ketika kalian tidak menjalankan ibadah puasa karena datangnya haid, nifas, hamil, menyusui, atau sebab yang lain, maka hendaknya kalian menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang lain, seperti menjaga dzikir di waktu pagi dan petang yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak lupa juga memperbanyak amalan shadaqah, dan meramaikan rumah kalian dengan berbagai amalan kebaikan yang lainnya.
Demikian juga di saat kalian tidak berpuasa hendaknya tetap menjaga lisan dari berbuat ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mencela, berkata-kata kotor atau berbuat dengan perbuatan-perbuatan orang bodoh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamenerima amalan kita dan menggolongkan kita termasuk hamba-Nya yang bertakwa.
Wallahu a’lamu bish shawab…
Penulis: Ustadz Arif Abdurrahman
Sumber http://buletin-alilmu.net/2011/08/14/wanita-di-bulan-ramadhan/