وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ
“Dan Dia (Allah) menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.”
Tentu ini merupakan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat besar untuk Nabi Isa ‘alaihissalam. Keberkahan, yaitu tetapnya kebaikan, selalu menyertai Nabi Isa ‘alaihissalam dalam tutur kata dan perbuatannya. Bahkan, keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala tak pernah lepas darinya di kala senang ataupun susah.
Nikmat yang agung seperti ini tidak
semua orang mendapatkannya. Bisa jadi di sana ada orang yang diberkahi
ketika duduk di majelis ilmu. Namun, dia tidak diberkahi saat berada di
tengah-tengah keluarganya dengan berbuat zalim kepada anak dan istrinya.
Sebagian orang diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala
untuk beramal kebaikan saat lapang, namun tidak diberkahi saat sulit.
Padahal apabila keberkahan hidup menyertai seseorang, sesuatu yang
sedikit bisa menjadi banyak; perubahan kondisi pun tidak akan mengubah
semangatnya menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kiat Agar Keberkahan Hidup Selalu Menyertai Hamba
Tanpa bantuan Allah subhanahu wa ta’ala, manusia selalu diliputi oleh kelemahan dalam segala sisi kehidupannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨
“Dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (an-Nisa: 28)
Tak terkecuali dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai orang yang beriman
kita mesti senantiasa bergantung pada Sang Pencipta alam semesta,
dengan selalu memohon kepada-Nya agar dimudahkan dalam segala urusan.
Tentu saja dengan diiringi usaha yang maksimal.
Orang yang berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala (tawakal) tidak akan pernah kecewa karena ia yakin dengan janji Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (ath-Thalaq: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan dalam suatu haditsnya,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ
“Bersemangatlah engkau terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu, dan mintalah bantuan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, janganlah melemah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Urusan yang bermanfaat ada dua macam, yaitu urusan agama dan
urusan dunia. Sebagaimana halnya memerlukan urusandunia, seorang hamba
juga memerlukan urusan agama. Sementara itu, rahasia keberhasilan hamba
dan diberinya petunjuk terletak pada semangat dan kesungguhannya dalam
mewujudkan dua macam urusan yang bermanfaat tersebut, sembari memohon
pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Manakala seorang hamba
bersungguh-sungguh dalam urusan yang bermanfaat, dengan menelusuri jalan
(keberhasilan) serta senantiasa memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
agar hal tersebut terwujud, ini menjadi pertanda kesempurnaan dan
keberhasilannya. Apabila salah satu dari tiga faktor ini (semangat
mencari sesuatu yang bermanfaat dan meminta bantuan Allah subhanahu wa ta’ala) tidak terpenuhi, sebatas itu pula ia terlewatkan dari kebaikan.
Oleh karena itu, orang yang tidak
bersemangat dalam urusan yang bermanfaat, justru bermalas-malasan, ia
tidak menggapai apa pun (dari kebaikan) karena kemalasan adalah pangkal
kegagalan. Orang yang pemalas tidak akan meraih kebaikan dan kemuliaan.
Ia bukan orang yang memperoleh keberuntungan, baik dari sisi agama
maupun sisi dunia.
(Seperti itu pula) orang yang
bersemangat namun pada urusan-urusan yang tidak ada manfaatnya, baik
sesuatu yang (jelas-jelas) bermudarat maupun sesuatu yang bisa
menghambat kesempurnaan (dirinya).
Hasil dari semangat yang seperti ini
hanyalah penyesalan, terlewat dari kebaikan, dan mendapat kejelekan,
serta sesuatu yang membahayakan. Sungguh, betapa banyak orang yang
bersemangat menempuh cara dan metode yang tidak berguna lantas tidak
memetik dari semangatnya selain letih dan sengsara.
Berikutnya, apabila seorang hamba telah
menempuh usaha yang bermanfaat dengan penuh semangat, belum dikatakan
sempurna hingga dia benar-benar bergantung pada Allah subhanahu wa ta’ala dan meminta bantuan-Nya guna tercapai dan terpenuhinya (kebutuhannya).
Seseorang hendaknya tidak mengandalkan
kemampuan diri, usaha, dan kekuatannya. Akan tetapi, hendaknya ia
bersandar secara penuh, lahir dan batin, kepada Rabbnya. Dengan cara
ini, hal-hal yang sulit akan terasa mudah, dan kondisi menjadi ringan,
serta hasil yang maksimal bisa diraih.” (Bahjatu Qulubil Abrar hlm. 25)
Amal Saleh Membawa Keberkahan Hidup
Usaha yang keras dan tekun dengan
menempuh sebab-sebab keberhasilan, secara teori duniawi bukanlah
satu-satunya jalan untuk menggapai cita-cita. Ada sebuah faktor utama
untuk mendapatkan keberkahan hidup, yaitu menjalankan beragam ketaatan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ
“Jikalau
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (al-A’raf: 96)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
berkata, “Sesungguhnya amal kebaikan akan menjadikan wajah bercahaya,
hati bersinar, rezeki luas, badan kuat, dan kecintaan pada hati para
hamba. Sebaliknya, sesungguhnya kemaksiatan akan membuat wajah menjadi
kelam, hati menjadi gelap, badan menjadi lemah, rezeki berkurang, dan
kebencian pada hati para hamba.”(Nurut Taqwa hlm. 4—5 karya al-Qahthani)
Di antara amal ketaatan tersebut adalah
menyambung tali kekerabatan (silaturrahmi). Al-Imam al-Bukhari dan
Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali kekerabatannya.”
Memang, balasan itu setimpal dengan
perbuatan. Sebagaimana seseorang telah menyambung karib kerabatnya
dengan beragam kebaikan serta menyisipkan kebahagiaan kepada mereka,
Allah subhanahu wa ta’ala juga akan membalas dengan menyambung
umur orang tersebut dan rezekinya, membukakan baginya pintu-pintu rezeki
dan barakahnya. Sesuatu yang tidak bisa diraih kecuali dengan sebab
yang mulia (silaturrahmi) ini. Sebagaimana kesehatan yang terjaga, udara
yang sejuk, makanan yang bergizi, serta melakukan hal-hal yang bisa
memperkuat tubuh dan hati termasuk sebab panjangnya umur, demikian pula
silaturrahmi.
Sesungguhnya cara untuk diperolehnya
hal-hal duniawi yang disukai oleh hamba ada dua: satu cara yang bisa
dijangkau oleh indra, dan cara yang lain adalah upaya-upaya syar’i
berupa amal ketaatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ
“Barang siapa
bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (ath-Thalaq: 2—3)
Sabar Kunci Keberhasilan
Sabar dalam agama ini kedudukannya seperti kepala bagi tubuh. Apabila kepala itu hilang, mungkinkah seseorang itu hidup?!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidaklah seorang diberi (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”(Muttafaqun ‘alaih)
Sabar dengan tiga macamnya—yaitu bersabar menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar meninggalkan larangan Allah subhanahu wa ta’ala, serta bersabar menghadapi musibah dan cobaan—merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala telah
memberi janji-janji yang mulia bagi orang yang bersabar. Di antara
janji tersebut ialah orang yang sabar akan dibantu dalam segala
urusannya, Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya, mengokohkan
hati dan kakinya, memberikan ketenteraman, memudahkannya untuk berbuat
ketaatan, dijaga dari dosa, ditinggikan derajatnya dan beragam janji
mulia dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan, derajat kemuliaan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan kepemimpinan dalam agama didapat dengan kesabaran, sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala,
وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بَِٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ ٢٤
“Dan Kami
jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)
Apabila seseorang telah menghiasi
dirinya dengan tiga bentuk kesabaran, ia akan istiqamah di atas jalan
kebenaran. Amal ketaatan akan dia kerjakan, apa pun keadaannya.
Kemaksiatan akan dia jauhi, sebesar apa pun dorongan hawa nafsunya.
Musibah dunia akan dihadapinya dengan ketabahan, sepahit apa pun
rasanya.
Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kita dapatkan sebaik-baik kehidupan kita dalam kesabaran.”
Ali radhiallahu ‘anhu berkata,
“Sesungguhnya kedudukan sabar terhadap iman seperti kepala bagi tubuh.
Tidak ada iman bagi yang tidak punya sifat sabar.” (Nurul Iqtibas karya al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah)
Merasa Cukup dengan Pemberian Allah subhanahu wa ta’ala
Menurut agama, orang yang kaya bukan
yang melimpah hartanya. Orang yang kaya adalah yang hatinya merasa cukup
dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala (qana’ah).
Orang yang hatinya selalu rakus dengan
dunia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu melihat kepada
orang yang lebih tinggi darinya dalam urusan dunia. Akhirnya, ia
meremehkan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kalbunya tumbuh rasa hasad dan iri terhadap orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barang siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan rasa kecukupannya dalam hatinya. Allah subhanahu wa ta’ala akan
kumpulkan baginya urusan-urusannya yang berceceran. Dunia akan
mendatanginya dalam keadaan hina dan mudah didapat. Sebaliknya, barang
siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan kefakirannya terpampang di hadapan kedua matanya; Allah subhanahu wa ta’ala cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidaklah sampai kepadanya kecuali apa yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. at-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 6510)
Orang yang kefakirannya selalu
terpampang di hadapannya, bagaimana akan merasa bahagia? Orang yang
tidak pernah puas dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, bagaimana ia tidak tersiksa?
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Apabila Anda memiliki hati yang merasa puas dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, Anda sama dengan raja dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كثُرَ وَأَلْهَى
“Sesungguhnya yang sedikit dan mecukupi lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan.” (HR. Abu Ya’la dan adh-Dhiya. Lihat Shahih al-Jami’ no. 5653)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc
http://asysyariah.com