Agu 10, 2017 | Asy Syariah Edisi 117, Permata Hati |
Kita tentu tak pernah berharap hal itu terjadi pada diri kita dan anak-anak kita. Bahkan kita mohon perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla agar dijauhkan dari itu semua.
Terkadang secara tak sadar, orang tua menanamkan kepada anak
rasa ketidakpuasan terhadap penguasa negerinya. Lewat obrolan dengan
orang lain, meluncur ungkapan-ungkapan celaan bahkan hujatan terhadap
sang penguasa. Tampaknya hanya sekadar curhat. Namun, tanpa disangka, sepasang telinga kecil menangkap pembicaraan itu, lalu menghunjam di sanubarinya.
Berbekal opini dari orang tuanya terhadap penguasanya yang dipandang
penuh kekurangan, tumbuhlah dia sebagai pemuda yang tidak puas dan benci
dengan pemerintahnya. Tinggallah orang tua yang terhenyak, saat suatu
hari nama anaknya tercatat sebagai anggota teroris. Wal ‘iyadzu billah….
Selain doa yang kita panjatkan, tentu ada upaya yang harus ditempuh
oleh orang tua dalam membimbing anaknya. Kita harus mengetahui bimbingan
syariat dalam hal ini. Sembari memohon pertolongan dan taufik dari
Allah ‘azza wa jalla, kita akan menelaah masalah ini melalui kitab Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah.
Dalam poin pembahasan Tarbiyatuhum ‘ala Mahabbatil ‘Ulama wa Wulatil Amr dijelaskan
bahwa di antara hal penting yang harus diperhatikan oleh ayah dan ibu
adalah mendidik anak-anak untuk mencintai ulama dan pemimpin negerinya.
Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan
dirham atau dinar, tetapi sematamata mewariskan ilmu. Barang siapa
mengambil ilmu tersebut, berarti dia telah mengambil bagian yang
melimpah dari warisan tersebut.
Di samping itu, apabila orang tua menanamkan pada diri anak sikap
keraguan terhadap para ulama dan ilmu mereka, tidak menghormati mereka,
serta menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka di hadapan anak, semua ini
akan menimbulkan bahaya besar bagi umat. Sebab, ilmu diambil dari para
ulama, begitu juga syariat Islam diambil dari jalan mereka pula. Sikap
yang demikian kadangkala akan membawa kehancuran bagi syariat Islam.
Ketika anak tumbuh dewasa kelak, dia akan mencari orang yang akan
diambil ilmunya. Dia tidak akan mengambil dari para ulama, karena sudah
dibuat ragu terhadap para ulama dan ilmu mereka. Mereka akan mengambil
ilmu dari para ulama sesat dan orang-orang yang berpemikiran menyimpang.
Akhirnya, anak akan menjadi alat untuk merusak masyarakat.
Adapun ulil amri adalah orang-orang yang menangani segala urusan
rakyat, menegakkan syariat, memelihara stabilitas keamanan, serta
menjaga persatuan kaum muslimin. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan taatilah ulil amri di antara
kalian.” (an-Nisa: 59)
Ulil amri yang dimaksud dalam ayat adalah para ulama dan penguasa.
Akan tetapi, sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di berbagai
forum melakukan ghibah dan namimah terhadap penguasa.
Mereka menyingkap dan mengungkap kesalahan-kesalahan mereka. Padahal
kalau dia mau melihat kekurangan dan kesalahan dirinya sendiri, niscaya
lebih banyak daripada kesalahan penguasa yang dia ungkapkan. Cukuplah
bagi seseorang mendapatkan dosa jika dia memberitakan semua yang
didengarnya.
Amat disayangkan pula, anak-anak duduk di majelis yang semacam ini.
Mereka menyerap ucapan seperti ini dan tumbuh dewasa di atas kebencian
terhadap para ulama dan penguasanya. Semua ini akan menjadi sebab
timbulnya kerusakan, munculnya tuduhan bid’ah atau fasik terhadap ulama
dan penguasa tanpa dilandasi ilmu.
Seringkali ucapan yang dinukil tentang ulama dan penguasa tersebut
adalah kedustaan dan kebohongan, tanpa ada hujah dan bukti. Itu
semata-mata propaganda musuh Islam dan musuh akidah yang murni ini.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah berkata,
“Bukan merupakan manhaj salaf, perbuatan menyebarkan aib-aib penguasa
dan menyebut-nyebutnya di atas mimbar. Ini akan menyeret pada
penentangan serta keengganan untuk mendengar dan menaati penguasa dalam
hal yang ma’ruf. Perbuatan tersebut juga akan menyebabkan sikap
memberontak yang amat berbahaya dan sama sekali tak ada manfaatnya.
“Jalan yang ditempuh oleh para salaf adalah menasihati penguasa
secara empat mata, menulis surat kepada mereka, atau menyampaikannya
melalui para ulama yang dapat menyampaikan hal itu kepada penguasa,
sehingga ulama tersebut bisa mengarahkan sang penguasa pada kebaikan.” (al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqah bainal Hakim wal Mahkum, hlm. 22)
Manhaj salaf dalam menyikapi kesalahan penguasa adalah tidak
mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka, tidak pula menyebarkan
kesalahan-kesalahan penguasa di hadapan banyak orang. Sebab tindakan
tersebut bisa menyeret pada berbagai hal buruk yang lebih besar, dan
berujung pemberontakan kepada penguasa.
Pernah ada yang bertanya kepada Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, “Mengapa Anda tidak menemui Utsman untuk menasihatinya?”
Usamah pun menjawab, “Apakah kalian anggap aku ini harus
memperdengarkan kepada kalian jika aku menasihatinya? Sungguh, aku telah
menasihatinya empat mata. Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang
membuka (secara terang-terangan, -ed.) suatu perkara!” (Dikeluarkan al-Imam Ahmad dalam al-Musnad, 36/117, 21784, al-Bukhari no. 3267, Muslim no. 2989; dan lafadz ini dalam riwayat Muslim)
Diterangkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, “Yang dimaksud oleh Usamah, beliau tidak ingin membuka pintu mujaharah (terang-terangan)
mengingkari penguasa, karena mengkhawatirkan berbagai dampak buruknya.
Beliau justru bersikap lemah-lembut dan menasihatinya secara diam-diam.
Sebab, nasihat dengan cara seperti ini lebih layak diterima.” (Dinukil dalam Fathul Bari, 13/67, 7098)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah
juga menjelaskan, “Ada orang-orang yang setiap majelisnya berisi
pembicaraan jelek terhadap penguasa, menjatuhkan kehormatan mereka,
menyebarkan keburukan dan kesalahan mereka, tanpa memedulikan sama
sekali berbagai kebaikan dan kebenaran yang ada pada penguasa tersebut.
Tidak diragukan lagi, melakukan cara-cara seperti ini dan menjatuhkan
kehormatan penguasa tidak akan menambah apa-apa selain memperberat
masalah.
“Cara seperti ini tidak bisa memberikan solusi dan tidak melenyapkan
kezaliman. Ia justru hanya menambah musibah bagi suatu negeri,
menimbulkan kebencian dan antipati terhadap pemerintah, serta
memunculkan keengganan untuk melaksanakan perintah penguasa yang
seharusnya wajib ditaati.”
“Tidaklah kita ragukan bahwa terkadang pemerintah melakukan hal-hal
yang negatif atau berbuat kesalahan, seperti halnya anak Adam yang
lainnya. Setiap anak Adam pasti banyak berbuat kesalahan, dan
sebaik-baik orang yang banyak salah adalah yang banyak bertobat
(sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Kita pun tidak menyangsikan bahwa kita tidak boleh mendiamkan seorang
pun yang berbuat kesalahan. Semestinya kita menunaikan kewajiban
nasihat bagi Allah ‘azza wa jalla, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah muslimin, serta bagi seluruh kaum muslimin sesuai kemampuan kita.”
“Apabila kita melihat kesalahan penguasa, kita sampaikan secara
langsung, baik melalui lisan maupun tulisan yang ditujukan kepada mereka
(bukan dengan mengumbar aib mereka di hadapan khalayak, di
mimbar-mimbar atau media massa), menasihati mereka dengan menempuh jalan
yang paling dekat untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka dan
menerangkan kesalahan mereka. Kemudian kita beri nasihat, kita ingatkan
kewajiban mereka agar menunaikan dengan sempurna hak orang-orang yang
ada di bawah kekuasaan mereka dan menghentikan kezaliman mereka terhadap
rakyatnya.” (Wujubu Tha’atis Sulthan fi Ghairi Ma’shiyatir Rahman, hlm.23—24)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Membicarakan aib penguasa adalah perbuatan ghibah dan namimah, di mana keduanya adalah keharaman terbesar setelah syirik. Apalagi jika ghibah atau namimah itu
ditujukan pada ulama dan penguasa, ini lebih parah lagi. Sebab, bisa
menyeret pada berbagai kerusakan: memecah-belah persatuan, buruk sangka
terhadap pemerintah, dan menumbuhkan pesimisme serta keputusasaan pada
diri rakyat.” (al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilatil Manahijil Jadidah, hlm. 60)
Tentang masalah ini, para ulama Ahlus Sunnah—baik yang terdahulu maupun sekarang—berdalil dengan hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
- Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa melihat pada penguasanya sesuatu yang dia benci,
hendaknya dia bersabar. Sebab, orang yang memisahkan diri dari jamaah
(penguasa) satu jengkal saja lalu dia mati, matinya seperti mati orang
jahiliah.”[1]
- Dari ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي السُّلْطَانِ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، فَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati penguasa, janganlah dia sampaikan
secara terbuka. Hendaknya dia gamit tangan penguasa itu (untuk
menasihatinya secara diam-diam). Jika penguasa itu mau mendengar
(nasihatnya –pen.), itulah yang diharapkan. Jika tidak, dia telah
menunaikan kewajibannya.”[2]
- Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ، قَالُوا :قَالَ رَسُولُ اللهِ: لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَ تَغُشُّوهُمْ، وَ تُبْغِضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ
“Dahulu kami dilarang oleh para tokoh kami dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Jangan kalian mencela penguasa kalian, jangan mengkhianati mereka, dan
jangan pula membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersabarlah, karena urusannya dekat’.”[3]
- Dari Ziyad al-‘Ad i , beliau menceritakan, “Aku pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang saat itu sedang berkhutbah sembari mengenakan pakaian sutra.
Abu Bilal berkata, ‘Coba kalian lihat pimpinan kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasik!’
Abu Bakrah pun menyahut, ‘Diam! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ
“Barang siapa menghinakan penguasa Allah di dunia, niscaya Allah akan hinakan dia.”[4]
Demikian ini adalah pengajaran dari Allah ‘azza wa jalla dan
Rasul-Nya yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap hamba, baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk ditanamkan kepada anak-anaknya.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
(Diterjemahkan dari kitab Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah, karya ‘Abdus Salam bin ‘Abdillah as-Sulaiman, hlm.39—42, oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
[1] HR. al-Imam Ahmad (4/290)(2487), al-Imam al-Bukhari (7053,7143), dan al-Imam Muslim (1849)(55).
[2] HR. al-Imam Ahmad (24/48-49)(15333) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (2/507)(1096).
[3] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (2/474)(1015) dan al-Baihaqi dalam al-Jami’ li Syu’abil Iman (10/27) (7117).
[4] HR. al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (34/79)(20433), at-Tirmidzi (2224) dan lafadz ini dalam riwayat beliau. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.